
Lagu
 dari Sabang sampai Merauke adalah ungkapan salah satu dari empat pilar 
bangsa Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lagu itu 
menggambarkan berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu 
itulah Indonesia. Indonesia tanah airku, aku bersumpah padamu, 
menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia. Ini berarti tidak boleh 
ada satupun pulau-pulau itu yang terlepas.
 
Nah kini NKRI terusik dengan kemelut di 
Papua, tindak kekerasan berupa penyerangan bersenjata  semakin 
meningkat, mengerikan. Korban jatuh tidak hanya dikalangan masyarakat 
tetapi juga aparat keamanan. Pada hari Minggu (3/12), dua anggota Brimob
 tewas karena serangan dari kelompok orang tak dikenal di Kali Semen, 
Kampung Wandigobak, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Bripda 
Feriyanto Kaluku akibat luka tembak di kepala dan Bripda Eko Afriansyah 
yang juga mengalami luka tembak di kepala. Keduanya anggota organik 
Gegana Brimob Mabes Polri.
Kita semua berfikir, kenapa kekerasan 
seakan kini menjadi rutinitas kehidupan bangsa ini yang dulu terkenal 
damai? Jawabannya sederhana sebetulnya, Indonesia terdiri dari demikian 
banyaknya pulau, demikian banyaknya etnis, bahasa, budaya, adat 
istiadat, norma, dan mulut yang setiap hari membutuhkan makan. Itulah 
masalahnya, semua mempunyai kebutuhan dan kepentingan, tidak peduli 
dimanapun mereka berada, semua butuh.
Begitu kita terkena pengaruh demokrasi 
liberal, maka penguasa menjadi tidak berdaya, rakyat adalah pemilik 
negara ini. Mereka bisa melakukan apa-apa yang dibenarkan oleh demokrasi
 mencontoh dari negara-negara Barat. Beberapa negara kemudian menjadi 
kisruh karena demokrasi, dan juga terjadi di beberapa wilayah negara 
kita. Apakah demokrasi buruk? Jawabannya jelas tidak. Inilah sistem yang
 diakui terbaik didunia, hampir 80 persen negara di dunia menggunakan 
demokrasi. Kita bersama sepakat menggunakan sistem ini. Hanya masalahnya
 kita masih dalam tahapan transisi, yang penuh dengan gejolak.
Secara teori, bahaya perpecahan dan 
ketidak tenteraman sebuah bangsa dihadirkan karena berkembangnya ide 
separatisme, mengingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tidak 
terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial. Konflik yang 
berkepanjangan mendorong timbulnya kebencian dan keinginan balas dendam,
 membantu munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan utama 
mengobarkan kekerasan bahkan perang. Kondisi ini menyediakan tanah 
penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam 
teror massal. .
Kerusuhan yang kini timbul di Papua 
adalah produk dari konflik berlarut-larut di pulau paling Timur 
Indonesia itu. Aceh walaupun sudah tenang sejak tercapainya perdamaian 
dan diberikan kesempatan kepada GAM untuk ikut membangun Aceh, sisa 
kekerasan dan beredarnya senjata masih saja  tetap terjadi. Belum reda 
serangan dan letusan AK-47 di Papua, di Aceh kembali terjadi aksi 
pembunuhan dengan penembakan menggunakan senjata laras panjang.
Minggu malam (4/12/2011) tujuh pekerja 
perkebunan karet ditembaki sekelompok orang bersenjata tak dikenal di 
Desa Uram, Kecamatan Gereudong Pase. Tiga orang tewas, dan empat lainnya
 kritis. Para pekerja PT Satya Agung, saat ditembaki sedang duduk 
santai. Penembak yang berjumlah empat sampai lima orang, semuanya 
menggunakan penutup muka, bersenjata AK, SS-1 dan M-16. Menurut Kapolda 
Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, pembunuhan bermotif kejahatan ekonomi. 
"mungkin pekerja lokal tidak diterima bekerja, lalu muncul sakit hati," 
katanya.
Selain Aceh, tindak kekerasan berupa 
serangan senjata di Papua terus meningkat. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen
 Saud Usman Nasution mengatakan, tercatat kasus kekerasan di Papua pada 
2009, satu anggota Polri tewas, 12 mengalami luka. Dari masyarakat  2 
tewas dan 9 luka. Pada 2010, 64 anggota Polri terluka, dari masyarakat 3
 orang terluka. "Pada 2011 ada 3 anggota Polri meninggal dan 8 mengalami
 luka. Sedangkan 5 orang masyarakat meninggal dan 6 mengalami 
luka-luka," kata Saud di kantornya Senin (5/11/2011).
Dari data tersebut terlihat bahwa 
kekerasan semakin meningkat dan belum terselesaikan. Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan 
Papua Barat (UP4B) yang diketuai oleh Bambang Dharmono dan diharapkan 
bisa mempercepat penyelesaian masalah Papua. Melalui surat khusus dari 
Presiden Yudhoyono, Farid Husain, 61 tahun, dalam enam bulan terakhir 
terus berusaha membuka pintu dialog dengan elit, pimpinan, dan aktivis 
OPM di Papua. Farid dikenal sukses sebagai negosiator kasus di Poso dan 
Aceh. Menurut Farid, Presiden Yudhoyono meminta agar upaya dialog di 
Papua itu menggunakan “cara” perundingan damai dengan Gerakan Aceh 
Merdeka, GAM, yang berhasil tersebut.
Farid tidak bersedia menyebut siapa 
pihak yang diajaknya berdialog di Papua. Farid menyebut pertemuannya 
dengan berbagai pimpinan atau elit kelompok separatis di Papua itu 
sebagai “dialog demi kemanusiaan”. Farid menyampaikan kepada warga Papua
 bahwa dialog itu tidak membicarakan soal aspirasi kemerdekaan. “Karena 
memang ini sudah NKRI. Jadi (soal keinginan keluar dari Indonesia) tidak
 kita bicarakan. Yang kita bicarakan kenapa masih ada begini (berbagai 
persoalan di Papua),” katanya.
Farid yang sukses sebagai juru runding 
di Aceh, menyampaikan adanya perbedaan penyelesaian di dua tempat 
tersebut. Kalau Aceh ada pemimpinnya. Papua ada pemimpinnya, tetapi 
terlalu banyak,” ungkapnya. Sehingga, “masih membutuhkan waktu dan 
pendekatan yang lebih dekat”, katanya. Salah-satu masalah yang menjadi 
titik fokus Farid dalam dialognya itu adalah menyamakan persepsi “cara 
menyelesaikan” persoalan di Papua.
"Di sana ada terlalu banyak faksi, saya 
cuma membagi dua, politik dan tentaranya atau TPN. Nah di dalam 
tentaranya itu ada lagi faksi yang berbeda, ada yang di pesisir, 
pegunungan dan perbatasan. Masing-masing ada panglima dan masing-masing 
saling tidak mengakui panglima," kata Farid Husein.
Farid, menjelaskan bahwa bisa saja 
perundingan Papua meniru perundingan Aceh, dengan melibatkan pihak asing
 sebagai pengawas. "Perundingan Papua bukan internasionalisasi, tetapi 
mengajak orang (lain) untuk mengawasi, supaya kita masing-masing menahan
 diri.” Farid menerangkan, selama perundingan damai Indonesia-GAM, sosok
 Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia) semata-mata hanya  bertugas 
menyediakan tempat, mengatur waktu, serta mendengarkan.
Farid sendiri yakin persoalan Papua 
tetap bisa diselesaikan secara damai, asal pihaknya diberi kesempatan 
bernegoisasi. “Asal masing-masing elitnya bersabar, tenang saja, jangan 
ramai dulu”. Maksudnya baik kelompok separatis Papua pemerintah 
Indonesia dan aparat keamanan tetap sabar. Menurut Farid, juru runding 
harus menguasai permasalahan yang dihadapi, peta politik di daerah 
konflik. Pada saat itu sosok Jusuf Kalla demikian besar dalam 
keberhasilan perundingan.
Dikatakan oleh Farid, “Perdamaian 
gampang, jabat tangan sudah selesai. Tapi kapan perdamaian itu bisa 
bertahan, itu harus dijaga,” jelasnya.  Menjaga hasil kesepakatan damai 
di Aceh merupakan tanggungjawab Indonesia dan masyarakat Aceh.“Persis 
model dokter, yaitu preventif-promotif. Dan kalau ada apa-apa, kita 
kuratif,” paparnya. “Jadi yang paling penting, jagalah kepercayaan untuk
 kepanjangan perdamaian”tegasnya.
Nah, kini kita tunggu perkembangan upaya
 perdamaian di Papua yang nampaknya agak berbeda dengan Aceh. Masyarakat
 Papua relatif lebih sederhana cara berfikirnya, akan tetapi disitulah 
kerawanannya. Farid dan UP4B harus adu cepat dengan pengaruh asing yang 
mengompori kelompok separatis Papua untuk Merdeka. Cetusan 
internasionalisasi OPM sudah dilebarkan ke Belanda dan AS, ada anggota 
parlemen Belanda  yang menghadiri upacara peringatan OPM di Belanda.
Beberapa oknum di Belanda nampaknya 
masih memandang Papua sebagai bagian jajahannya. Terlebih kini melihat 
harta Tuhan yang ada di Freeport, siapa yang tidak mengilar. Selamat 
bertugas Mas Farid, semoga sukses. Pahala anda jelas besar karena bisa 
menghentikan aksi saling bunuh. Dilain sisi anda akan menjadi pahlawan 
karena berperan aktif dalam menjaga NKRI. Prayitno Ramelan
 
 
Organisasi Papua Merdeka (OPM) Pecah !

Sekelompok
 orang yang menyatakan diri sebagai pejuang pembebasan rakyat Papua atau
 lebih dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), melakukan 
perlawanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menuju sebuah 
kemerdekaan, namun bagaimanakah perjalanan perjuangan OPM ? Dalam 
perjuangan mereka, akhir-akhir ini terjadi perpecahan didalam tubuh 
sendiri.
 
Setelah meninggalnya beberapa tokoh 
penting yang dianggap sebagai “Panglima” seperti Theys Aluay Panglima 
wilayah Jayapura, Kelik Kwalik Panglima Wilayah Timika dan Melkianus 
Awom Panglima wilayah Biak Numfor, perjuangan mereka sudah mulai 
terlihat sangat surut dan yang terjadi kemudian muncul friksi yang lebih
 memperjuangkan kepentingan individual para petinggi OPM.
Kepemimpinan para pejuang Papua yang 
dilimpahkan kepada anak-anaknya sebagai garis keturunan adat, tidak 
banyak membuahkan hasil seperti harapan rakyat Papua menuju referendum, 
bahkan perjuangan mereka cedurung menurun. Hal tersebut disebabkan oleh 
beberapa anggota kelompok OPM yang tidak sejalan lagi dengan pemimpin 
baru mereka atau perebutan kursi kepemimpinan antar keturunan/keluarga. 
Seperti yang terjadi di wilayah perjuangan Biak Numfor, dimana Mika Awom
 anak kedua dari Melkianus Awom Panglima OMP Wilayah Biak Numfor tidak 
sejalan dengan Panglima OPM Biak Numfor saat ini, Kabor Awom yang 
notabene kakak dari Mika Awom, sehingga Mika Awom sering berada di Biak 
Kota untuk bergabung dengan masyarakat adat lain dan meninggalkan 
militansi perjuangan Papua Merdeka.
Hal serupa juga terjadi di wilayah 
Wanimo, dimana setelah penyerahan jabatan Panglima OPM  dari Mathias 
Wenda kepada Angitok Kogoya, terjadi perselisihan hingga menimbulkan 
bentrokan bersenjata antara Mathias Wenda dan Angitok Kogoya yang 
mengakibatkan dua orang anak buah Mathias Wenda tewas.
Keberadaan kelompok pejuang pembebasan 
rakyat Papua/Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak hanya menjadi lawan 
bagi aparat keamanan, dan menyebabkan militer harus terus melakukan 
operasi di tanah Papua kita tercinta, di sisi lain masyarakat Papua 
sendiri di wilayah Pegunungan yang merupakan markas OPM seringkali 
merasa terganggu oleh kegiatan mereka. Seperti yang disampaikan oleh 
salah satu kepala kampung Distrik Mewoluk Tinggi Nambut Sem Purleme, 
bahwa mereka sering turun ke perkampungan dengan paksa meminta bahan 
makanan, bahkan kadang-kadang terjadi pelecehan seksual hingga 
pemerkosaan. Apakah ini yang disebut sebagai “pejuang kemerdekaan Papua”
 atau justru membenarkan anggapan sebagai kalangan bahwa OPM merupakan 
gerombolan bersenjata yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat
 Papua yang cinta damai?
Contoh lain tindakan OPM yang meresahkan 
masyarakat Papua adalah, kejadian penembakan terhadap masyarakat Papua 
pada tanggal 14 April 2010, dimana terdapat tiga karyawan PT. Modern 
menjadi korban meninggal dunia yaitu Ellymus Ramanday, Hans Ling Satya 
dan Hasbullah, padahal dua korban meninggal tersebut merupakan rakyat 
asli Papua. Patut disayangkan organisasi yang menyatakan berjuang untuk 
kepentingan rakyat atau bangsa Papua, tetapi kenyataannya justru 
merampas bahkan menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu, 
masyarakat Papua di tengah-tengah keterbelakangan yang harus 
diperjuangkan untuk dihilangkan, menjadi semakin bertanya-tanya, ….apa 
peran OPM bagi perjuangan orang asli Papua untuk mencapai kesejahteraan?
Melihat fakta-fakta yang ada, yang 
terjadi justru sebaliknya. Sebenarnya untuk siapa OPM berjuang? 
Mungkinkah ini hanya permainan politik tingkat tinggi antar elit politik
 Papua dan Jakarta, atau memang benar-benar perjuangan idealisme. Fakta 
yang sudah berbicara.
Related Post: